8 Okt 2016

19 Tahun 1 bulan 8 Hari

0 komentar
Hari ini.. Aku menyadarinya. Ini cerita bukan tentang cinta. Bukan tentang aku dan dia. Hanya sebatas tulisan yang penuh dengan keluh kesah. Tersadar. Aku tersadar jika musuh terbesarku adalah diriku sendiri. Aku bahkan sulit untuk memahaminya. Logika dan hatiku beradu tak berhenti. Bukankah harusnya aku menjadi penengah di antara mereka? Harus berapa lama aku menunggu mereka untuk berdamai? Perdebatan ini tak henti-hentinya jika tak ku akhiri. Aku, di umur 19 tahun 1 bulan dan 8 hari, berjanji untuk berdamai pada diriku sendiri mulai detik ini. Berjanji untuk belajar menjadi dewasa baik dalam berfikir maupun bertindak. Berjanji untuk menjadi penengah antara logika dan hatiku. Berhenti untuk memikirkan hal yang harusnya tidak difikirkan sekarang. Fokus untuk meraih cita-cita dan impian. Tidak mau lagi aku jatuh ke lubang cinta tanpa harapan. Bangkit dan temukan cintamu dengan menebarkan kasih sayangmu pada orang yang di sekelilingmu. Cinta akan mendekat dengan sendirinya. Namun tidak untuk damai dengan diri sendiri. Ketika aku sudah memilih jalan ini, aku hendak berdamai dengan orang-orang yang telah menyakitiku jua. Aku hendak berdamai dengan situasi-situasi yang menekanku, dengan fikiran negatif yang kadang kala muncul tanpa causa yang halal. Memaafkan masa lalu, hidup di masa sekarang , menanti masa depan, mungkin itu caraku berdamai dengan diriku sendiri. Aku di sini karena suatu alasan untuk masa depanku. Kenaifanku, keegoisanku bukanlah menjadi penghambatku untuk berdamai dengan diriku. Karena aku yakin, orangtuaku, kakakku, keluargaku dan tentunya imamku di masa depan sedang menantiku menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Berdamai dengan diri sendiri, hilangkan hal dengki merusak hati, fokuskan diri pada mimpi, perbaiki diri demi masa depan yang menanti.

Dari diriku, di masa sekarang.

7 Okt 2016

Pencinta vs Dicinta

0 komentar
Ah. Entahlah. Ini kali pertama aku membuat tulisan seperti ini. Sekuat apapun aku untuk merebutnya, hasilnya akan sama saja. Ia mengetahui namun berpura-pura tak paham. Sama seperti lirik "Pupus"nya Dewa. Takut aku untuk mengungkapkannya. Ragu aku untuk mendekatinya. Tidaklah salah merasakan hal aneh seperti ini, bukan? Terbalaskan atau tidak hanya ia dan Allah swt yang tahu. Terkadang aku iri dengan bantal, ia mampu mencintai tanpa mengharap balasan, menampung keluh kesah seharian, sabar dalam penantian dan ikhlas karena kepergian.

Manusia itu egois dan naif. Yang kita inginkan harus menjadi kenyataan. Bukankah manusia seperti itu? Sama halnya dengan mencintai. Ingin mendapat balasan adalah hal yang didambakan bagi pencinta. Mereka tidak tahu apakah yang dicinta juga menjadi pencinta bagi yang lain? Naif dan egois. Hal yang sangat sulit dipisahkan. Harusnya kita sadar dengan yang dicinta. Harusnya kita tahu dia sebenarnya menjadi pencinta untuk yang dicintainya. Tapi kenapa kita masih saja berusaha untuk merebutnya? Bukankah itu terlalu naif?

Namun, Pencinta memang begitu, kan?

Semua yang dilakukan selalu dikaitkan dengan kita. Padahal belum tentu itu untuk kita. Pencinta dan dicinta selalu membuat pernyataan yang ambigu. Pada akhirnya, semua dari mereka akan merasakan sakit yang mendalam bila tak terbalaskan. Alur cinta-mencintai tidak akan putus hingga mereka sama-sama saling mencintai.

Dan sang pencinta, tidak tahu apakah yang dicintai juga sedang menjadi pencinta untuk yang dicintainya juga? Waktu demi waktu akan menjawab pertanyaan si pencinta itu.

Ini cerita singkat pencinta dan dicinta. Semoga akan banyak cinta di hidupnya.