12 Des 2016

Essay untuk CGTDJP

0 komentar

Kebijakan Otoritas Pajak di Indonesia

Siapa yang tidak kenal dengan Direktorat Jenderal Pajak? Sudah tentu hampir seluruh masyarakat Indonesia mengetahuinya. Direktorat Jenderal Pajak atau DJP adalah salah satu direktorat jenderal di bawah Kementerian Keuangan Indonesia yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang perpajakan. Peranan Ditjen Pajak sangatlah besar dalam penerimaan negara khususnya di bidang perpajakan. Setiap tahun Ditjen Pajak selalu berusaha mengejar target penerimaan pajak yang terus menerus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Bukan tak sulit bagi Ditjen Pajak untuk mengejar targetnya tersebut, melihat dari kinerja Ditjen Pajak yang sudah berusaha maksimal dalam menggenjot penerimaan negara di bidang perpajakan.
Isu mengenai Ditjen Pajak akan memiliki otoritas tersendiri sudah lama berembus. Bahkan seperti yang dilansir detik.com pada Oktober 2015, Setjen Kemenkeu, Hadiyanto, menjelaskan bahwa tahun 2017 nanti Ditjen Pajak akan menjadi lembaga mandiri, termasuk dalam sisi penganggarannya. Sementara Wiliam Crandall (2010) menyajikan spektrum tingkatan otonomi dalam struktur pemerintah menjadi lima tingkat. Secara berurutan, tingkatan tersebut antara lain: Traditional Department, Semi-Autonomous Agency, Agencies and Regulatory Bodies, Stated-owned Enterprises, dan Privatized Activized. Saat ini, Diten Pajak di Indonesia berada di tingkatan Traditional Department, yakni masih berada dibawah suatu kekuasaan lembaga, Kementerian Keuangan. Sayangnya, model tradisional seperti yang diterapkan di Indonesia sudah banyak ditinggalkan oleh negara-negara lainnya, misalnya Afrika Selatan yang menerapkan SARA (Semi Autonomous Reveneu Authorities) atau Semi Otonom, Amerika Latin, Kenya, dan masih banyak negara lainnya.
SARA adalah terminologi yang merujuk kepada kerangka kelembagaan yang terlibat dalam orientasi penerimaan, di mana kerangka kelembagaan tersebut memiliki otonomi lebih besar dari direktorat kementerian atau departemen. Sistem SARA ini diharapkan agar lembaga penerimaan dapat fokus melakukan tugasnya, bebas dari intervensi politik yang ada, dapat membentuk struktur organisasi sesuai yang dibutuhkan oleh lembaga tersebut, serta memiliki sistem penganggaran yang berbeda dengan departemen atau direktorat dalam kementerian.  
Transformasi Ditjen Pajak menjadi suatu lembaga atau badan yang terpisah dari Kementerian Keuangan masih belum diketahui apakah akan mendapatkan otoritas sepenuhnya atau menjadi badan semi otonom. Hal itulah yang menjadi pokok yang harus dicermati oleh pemerintah. Wacana Diten Pajak menjadi badan terpisah memengaruhi pemikiran berbagai pihak. Ada yang berpendapat transformasi tersebut sebagai bentuk kegagalan Ditjen Pajak dalam mengejar target penerimaan pajak, ada yang berpendapat transformasi ini merupakan bentuk kemajuan yang harus dilaksanakan pemerintah agar Ditjen Pajak dapat fokus melakukan tugasnya di bidang penerimaan negara. Resiko yang harus dihadapi karena adanya transformasi ini sangatlah besar. Apalagi jika setelah transformasi, Ditjen Pajak masih tidak dapat mengejar target yang ada atau bahkan gagal melakukan tugasnya. Sudah pasti kepercayaan masyarakat akan menghilang dan buruknya, Indonesia akan mengalami krisis, namun di sinilah pemerintah dihadapkan dengan dua pilihan, mencoba meninggalkan sistem model tradisional yang lama atau tetap menggunakan sistem lama. Ibarat bermain lotre, nasib akan dipertaruhkan.
Pada prinsipnya, tidak serta merta ada satu model yang terbaik. Setiap negara harus menentukan sendiri akan menggunakan sistem model seperti apa sesuai dengan kondisi negaranya. Realitanya, Indonesia sudah harus meninggalkan model sistem tradisional untuk lembaga penerimaan –dalam hal ini Ditjen Pajak-. Hal itu dikarenakan Diten Pajak butuh administrasi perpajakan yang efektif dan efisien, dan caranya adalah dengan memberikan kewenangan yang luas bagi Ditjen Pajak untuk mengatur hal tersebut. Kewenangan tersebut dapat berupa kebijakan kepegawaian, alokasi anggaran, dan struktur organisasi. Saat otoritas pajak berpisah dari Kementerian Keuangan, maka otomatis alokasi anggaran pun akan berbeda. Biasanya, Ditjen Pajak akan mengajukan usul atas pagu RKAnya, dan apabila tidak disetujui Kemenkeu pagu indikatif tersebut harus disesuaikan berdasarkan pagu anggaran yang telah ditetapkan. Saat  otoritasnya terpisah, Ditjen Pajak akan mendapatkan alokasi anggaran tersendiri. Sama halnya di negara Amerika Latin, misalnya. Anggaran otoritas Amerika latin telah ditetapkan sebesar 2-3% dari realisasi penerimaan pajak yang dapat dicapai. Negara yang menggunakan sistem semi otonom biasanya nilai anggaran harus melalui persetujuan legislatif. Namun, seringkali terjadi negara memberikan bonus atau insentif terhadap otoritas pajak tersebut apabila mencapai target, seperti di Kenya.
Sederhananya, Indonesia harusnya sudah mampu meninggalkan sistem model tradisional yang diberlakukan kepada otoritas pajak. Namun, transformasi tersebut harus dipikirkan secara matang oleh pemerintah. Sebab akan banyak resiko yang menanti. Keputusan pemerintah haruslah tepat agar tidak terjadi salah langkah dan akan menimbulkan kerugian sendiri bagi negara. Sistem SARA yang digunakan oleh negara-negara lain pun bukan menjadi jaminan dan tujuan akhir bagi Indonesia untuk menerapkannya. Sebab perlu adanya komitmen politik  yang kuat dalam pelaksanaannya, bukan sekadar transformasi saja tanpa harus memikirkannya. Intinya, pemerintah harus mengkaji ulang mengenai pemisahan Ditjen Pajak dari Kementerian Keuangan, pertanyaan-pertanyaan seperti bagaimana harusnya Ditjen Pajak bertransformasi, apa resikonya, dan bagaimana cara menghadapi resiko yang ada harus dianalisa oleh pemerintah. Sementara itu, kita sebagai masyarakat Indonesia harus juga berperan aktif dalam hal ini. Setidaknya peran aktif kita ialah membayar pajak –bagi yang telah memenuhi syarat subjektif dan objektif- serta mendukung penuh kebijakan yang telah ditetapkan pemerintah.




Agustine Catur S
Sumber Referensi: