29 Mei 2020

Refleksi Pola Pendidikan Anak oleh Baby Boomers dan Millenial

3 komentar
Aku inget banget, dulu ketika masih duduk di bangku sekolah, orang tuaku selalu menjanjikanku 'jalan-jalan ke tempat wisata' kalau aku menduduki ranking 1 di sekolah. Dan kami juga dijanjikan akan mendapatkan insentif berupa uang jika mendapatkan nilai yang bagus di setiap mata pelajarannya. Kalau ga salah, nilai 9 itu seharga uang 20 ribu rupiah. Nilai 8 seharga uang 15 ribu rupiah begitu seterusnya hanya selisih lima ribu rupiah saja, tapi jika mendapat nilai 6 ya ga akan dihargai sama sekali. Insentif itu ternyata benar-benar memotivasi aku dan kakakku untuk belajar dengan giat agar mendapat nilai yang bagus di setiap pelajarannya dan menjadi juara kelas setiap semesternya. Viola, kami pun hampir selalu menjadi juara kelas. Kalau ada salah satu dari kami yang nilainya kecil, mulai deh saling ejek biar bisa semangat ngejer nilai yang lebih baik lagi hahaha lucu sekali rasanya mengingat kenangan yang dulu.

Gara-gara itulah yang kami tahu mungkin cuman belajar belajar dan belajar karena orang tua kami pun hanya menuntut kami agar rajin belajar saja. Belajar untuk bisa menguasai seluruh mata pelajaran tanpa tahu makna fokus dalam bidang tertentu. Aku rasa pola pendidikan semacam ini bukan terjadi di keluargaku saja ya kan? Mungkin sebagian dari banyak orang tua di luar sana juga menerapkan pola pendidikan yang sama. Entah ini tradisi yang sudah mendarah daging atau apapun itu, mendapat nilai yang bagus dan menjadi juara kelas masih dianggap sebagai tolok ukur kesuksesan saat mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Inilah salah satu alasan yang menyebabkan pendidikan di Indonesia dan negara tetangga berbeda. Pola asuh yang mengutamakan nilai dan juara kelas memberikan dampak sang anak menjadi 'multitalenta' karena bisa menguasai semua mata pelajaran tapi tidak menjadi ahli di bidang tertentu. Dulu kita pasti berpikir, orang yang memiliki ahli di berbagai bidang akan mempunyai prospek kerja yang tinggi. Namun, nyatanya, kondisi yang dibutuhkan di lapangan saat ini adalah orang yang memiliki keahlian khusus di suatu bidang. Saat ini Indonesia diprediksikan akan kekurangan tenaga ahli hampir 18 juta orang pada tahun 2030. Data ini diperoleh dari studi Global Talent Crunch yang dipublikasikan pada tahun 2018.

Lalu apa hubungannya dengan sistem pendidikan di Indonesia?

Kebutuhan tenaga ahli ini harus dibarengi dengan sistem pendidikan yang fokus pada suatu bidang bukan beberapa bidang. Tidak ada lagi zamannya nilai yang tinggi di semua mata pelajaran dan menjadi juara kelas adalah kunci kesuksesan seseorang. Pada era millenial saat ini, untuk bersaing di dunia kerja, yang dibutuhkan adalah orang yang kompeten dan memiliki spesialisasi khusus di bidang yang dibutuhkan. Semakin ke sini pun, aku merasa pola pikir orangtua millenial akan semakin berkembang. Pernah sewaktu waktu aku berdiskusi dengan salah seorang lelaki bahwasanya dia akan menerapkan pola asuh pendidikan yang 'bebas terkendali' ke anaknya. Dengan kata lain, dia akan memberikan kesempatan kepada anaknya untuk mengeksplore pengetahuan yang anaknya minati agar fokus ke bidang yang nantinya akan ia kuasai itu. Aku pribadi akan menerapkan hal yang serupa juga yakni memberikan kesempatan kepada anakku untuk memperdalam bidang yang ia minati dengan membawa percakapan itu ke dalam diskusi hingga sampai ke tahap di mana ia benar benar memahami sendiri kenapa dia menginginkan bidang itu; bagaimana cara agar ia sukses di bidang yang diinginkan

Dari diskusi singkat itu, aku menyadari sedikit demi sedikit sudah terjadi perubahan pola asuh pendidikan dari orang tua baby boomer dan orangtua millenial. Ya, memang untuk mengubah suatu tradisi, hal yang harus dilakukan adalah memutuskan rantai kebiasaan itu dimulai dari diri sendiri. Tak cuma itu, untuk menjadikan pendidikan Indonesia yang fokus ke suatu bidang agar mencetak banyak tenaga ahli yang dibutuhkan, maka sistem pendidikan di sekolah pun harus diperbaiki. Beberapa caranyaa adalah dengan mengoptimalkan sekolah kejuruan dalam rangka mengisi kebutuhan formasi tenaga ahli nantinya; mengubah sistem pengajaran yang fokusnya lebih banyak ke praktik daripada teori; mendorong peran serta aktif murid ketika proses pengajaran berlangsung; memfasilitasi kegiatan yang mengasah kreativitas dan softskill lewat ekstrakurikuler di sekolah.

Mau tidak mau, Bonus demografi Indonesia pada sekitar tahun 2030 menjadi tantangan sekaligus peluang bagi bangsa untuk memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia. Oleh sebab itu, dalam rangka menghadapi bonus demografi dan memperbaiki situasi ekonomi yang buruk akibat Pandemic Covid-19 yang terjadi saat ini, tenaga ahli sangat dibutuhkan sebagai penunjang roda ekonomi dan kemajuan bangsa Indonesia sendiri. Nantinya, sebagai orangtua millenial, kita juga memiliki peran serta untuk terus memperbaiki pola asuh pendidikan kepada anak kita. Oleh sebab itu, dibutuhkan harmonisasi yang seimbang dari pola pendidikan orangtua dan di sekolah untuk menciptakan sistem pendidikan yang baik, tepat dan relevan diterapkan oleh bangsa Indonesia