10 Feb 2020

Memaknai Hidup Selama 10 Hari Tanpa Komunikasi

0 komentar
Tulisan pertama di tahun 2020 ini didedikasikan untuk diriku yang mampu berjuang melewati kerasnya kehidupan terutama selama 10 hari kemarin di Buperta Cibubur.

Di zaman serba online seperti saat ini, kita pasti punya kecemasan tersendiri apabila tidak mampu berkomunikasi dengan dunia luar lewat gadget yang kita punya. Dulu sih, gadget bukan barang pokok dan tentunya bisa ditinggal kapan saja. Sekarang, coba deh renungkan. tanpa adanya gadget, kayaknya kita merasa ada yang kurang yah? Apalagi untuk kita yang anak rantauan, rasanya gadget itu udah mendarah daging. Komunikasi jarak jauh butuh adanya media berupa gadget itu.Tapi, apakah betul kita tak bisa hidup tanpa adanya gadget?

Aku ga tahu sejak kapan gadget menjadi barang pokok yang wajib ada saat kemana saja. Bahkan gadget alias smartphone menjadi barang yang pertama kali kita cari saat bangun tidur, whaat?? betul apa betul? kali ini, aku mau bahas tentang diklat sepuluh hariku dan gimana aku survive tanpa adanya alat komunikasi. lebay banget ga sih bahasanya? wkwkw

jadi, awal januari sebelum aku cuti untuk pertama kalinya, aku mendapatkan panggilan diklat teknis orientasi untuk pegawai pajak. Dan diklatnya tepat 5 hari setelah aku cuti tahunan. Haduh, ketika menerima panggilan diklat itu, perasaanku ga karuan. Antara cemas dan seneng!! cemas karena fisik dan batinku belum benar-benar siap dan seneng karena perjalanan untuk melepas jabatan dari CPNS ke PNS sebentar lagi akan tuntas hahaha.


Selama diklat, para peserta tidak diperkenankan memegang alat komunikasi sama sekali. Dengan kata lain, selama sepuluh hari kami tidak bisa berkomunikasi dengan dunia luar. Engga bisa update di instagram story, ga bisa video call dengan keponakan, ga bisa chat2-an sama temen, dan tentunya ga bisa ngobrol haha hihi sama doi! Selama sepuluh hari juga, kami akan bercanda ria, bersenda gurau dengan para pelatih yang terpercaya dari kopassus. hmm sangat menyenangkan, bukan? :')

Kata katingku, tiga hari pertama diklat adalah hari-hari yang menyeramkan dan menegangkan. Tapi, kalo bagiku tiada hari tanpa menegangkan. Baik menegangkan otot maupun menegangkan batin :'' Tiga hari itu....guling-guling, merayap, push up, jalan jongkok seakan menjadi cemilan wajib yang harus kami cicipi. Ga cuma itu, masuk ke gorong-gorong yang berisikan lumpur cokelat menjadi selingan haha hihi di kegiatan diklat tersebut. Beruntungnya, saat malam hari tiba, kami tidur di hotel berbintang-bintang alias di tengah lapangan berlumpur beratapkan langit yang dihiasi bintang dan bulan. Dan menariknya lagi, sebelum tidur, kami harus long march mengelilingi buperta yang bentukannya udah kayak hutan belantara kalo malam hari. Untung saja kami melakukannya itu bersama-sama. Jadi, suka duka seakan ditanggung bersama, haseeek. Jangan. jangan nanya apakah bisa mandi atau engga. Kalian sudah pasti tahu jawabannya apa :( aku tidak tega mengatakannya hahaha.

Hari berikutnya, tak ada yang berbeda. Hanya saja, kami sudah tidur di dalam tenda. Kegiatan pun tidak lepas dari ceramah umum, makan, makan, dan makan. wkwkwk. Musuh terberat selama diklat adalah makan. Kalo ngeliat mobil snack buperta yang berjalan ke arah pendopo, rasanya ingin membuat bannya kempes atau melakukan hal gila lainnya agar mobil tersebut berhenti mengangkut makanan yang terus menerus dikirimkan padahal kondisi kami masih sangat amat kenyank:) Tapi, lagi-lagi kami dibuat bersyukur dan berusaha untuk tidak mengeluhkan hal tersebut.

Kalo ditanya hal apa yang paling diingat ketika PTO, jawabannya adalah belajar karate dalam waktu 3 hari, yomhobop!!! dan tentu yg paling diingat juga adalah pelatih terbaik, pelatih amin wkwkwk dan pelatih akhlish. Pelatih amin disebut terbaik karena kharismanya yang mampu membuat siwi terenyuhh huhuh. Pelatih akhlish dikatakan terbaik karena humornya yang berisi banget dan selalu membuat tertawa tanpa henti walau sudah digulung-gulung berpuluh puluh kali.

Ah, buperta memang menyimpan banyak cerita. cerita tentang bagaimana harus bertahan hidup dalam kondisi terbatas. Tempat mandi yang terbatas, air terbatas, tempat tidur yang (tak) terlalu nyaman, lingkungan yang terbuka dan masih banyak lainnya. yang tak terbatas hanyalah makanan saja :''')

Selama di Buperta, katanya jiwa korsa akan terbentuk karena semuanya menanggung beban yang sama, menanggung suka duka yang setara. Tapi, aku pribadi beranggapan bahwa jiwa korsa yang berusaha dibentuk selama diklat tersebut masih belum sempurna, atau dengan kata lain prematur. masih banyak siwa dan siwi yang peduli dengan diri mereka sendiri. tak membantu temannya ketika sedang butuh. entahlah, rasa-rasanya aku masih bisa merasakan jiwa korsa ketika latsar di Jogja kemarin sih ya ehehehe.

Meskipun begitu, hidup sepuluh hari di Buperta cukup memberikan makna yang mendalam. Dan, Aku masih hidup bahkan tetap sehat kok tanpa adanya smartphone. Setidaknya, aku memberikan ruang untuk diriku sendiri menikmati dunia nyata tanpa adanya distraksi oleh notifikasi shopee di smartphone atau balasan cerita dari instagram story(?) wkwk. Aku bisa memberikan waktu untuk seseorang agar bisa merindu. Ya, semoga dengan jarak yang terbentuk itu akan membuat seseorang tersebut lebih menghargai waktu bersamaku.

Hidup itu ga indah kalo cuman kita sendirian. Hidup juga ga akan berjalan dengan baik kalo hanya kamu yang mengusahakannya seorang diri. itulah kenapa manusia disebut makhluk sosial. Seberapa mandiri dan tangguhnya dirimu, kamu perlu orang lain untuk menikmati hidup. Setelah terasingkan dari dunia luar, aku menyadari banyak hal yang patut aku syukuri. Lucunya, aku sempat menangis karena kondisiku itu bahkan sempat berpikiran 'susah banget yah jadi PNS harus gini amat'.  kalimat tersebut pernah terlontar ketika diklat berlangsung. Untungnya, aku langsung istighfar. Banyak loh orang-orang ngantre buat jadi PNS, kok aku malah ngeluh dengan cobaan yang kayak gini aja.

Terakhir, aku berterima kasih amat banyak kepada penyelenggara diklat, para pelatih, teman-teman seangkatan. Terimakasih, selama sepuluh hari kemarin aku menyimpan kenangan yang indah untuk dikenang saja tidak untuk diulang hihih. Hidup memang sebercanda itu. Kamu harus merasakan susah dahulu agar bisa memaknai hidup yang sudah kamu miliki saat ini.

foto-foto selama PTO :))