Kebijakan
Otoritas Pajak di Indonesia
Siapa
yang tidak kenal dengan Direktorat Jenderal Pajak? Sudah tentu hampir seluruh
masyarakat Indonesia mengetahuinya. Direktorat Jenderal Pajak atau DJP adalah salah satu direktorat jenderal di bawah
Kementerian Keuangan Indonesia yang mempunyai tugas merumuskan serta
melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang perpajakan. Peranan
Ditjen Pajak sangatlah besar dalam penerimaan negara khususnya di bidang
perpajakan. Setiap tahun Ditjen Pajak selalu berusaha mengejar target
penerimaan pajak yang terus menerus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Bukan tak sulit bagi Ditjen Pajak untuk mengejar targetnya tersebut, melihat
dari kinerja Ditjen Pajak yang sudah berusaha maksimal dalam menggenjot
penerimaan negara di bidang perpajakan.
Isu mengenai Ditjen Pajak akan memiliki otoritas tersendiri
sudah lama berembus. Bahkan seperti yang dilansir detik.com pada Oktober 2015,
Setjen Kemenkeu, Hadiyanto, menjelaskan bahwa tahun 2017 nanti Ditjen Pajak
akan menjadi lembaga mandiri, termasuk dalam sisi penganggarannya. Sementara
Wiliam Crandall (2010) menyajikan spektrum tingkatan
otonomi dalam struktur pemerintah menjadi lima tingkat. Secara berurutan,
tingkatan tersebut antara lain: Traditional
Department, Semi-Autonomous Agency, Agencies and Regulatory Bodies,
Stated-owned Enterprises, dan Privatized
Activized. Saat ini, Diten Pajak di
Indonesia berada di tingkatan Traditional Department, yakni masih berada
dibawah suatu kekuasaan lembaga, Kementerian Keuangan. Sayangnya, model
tradisional seperti yang diterapkan di Indonesia sudah banyak ditinggalkan oleh
negara-negara lainnya, misalnya Afrika Selatan yang menerapkan SARA (Semi
Autonomous Reveneu Authorities) atau Semi Otonom, Amerika Latin, Kenya, dan
masih banyak negara lainnya.
SARA adalah terminologi yang merujuk kepada kerangka kelembagaan yang
terlibat dalam orientasi penerimaan, di mana kerangka kelembagaan tersebut
memiliki otonomi lebih besar dari direktorat kementerian atau departemen.
Sistem SARA ini diharapkan agar lembaga penerimaan dapat fokus melakukan
tugasnya, bebas dari intervensi politik yang ada, dapat membentuk struktur
organisasi sesuai yang dibutuhkan oleh lembaga tersebut, serta memiliki sistem
penganggaran yang berbeda dengan departemen atau direktorat dalam kementerian.
Transformasi Ditjen Pajak menjadi suatu lembaga
atau badan yang terpisah dari Kementerian Keuangan masih belum diketahui apakah
akan mendapatkan otoritas sepenuhnya atau menjadi badan semi otonom. Hal itulah
yang menjadi pokok yang harus dicermati oleh pemerintah. Wacana Diten Pajak
menjadi badan terpisah memengaruhi pemikiran berbagai pihak. Ada yang
berpendapat transformasi tersebut sebagai bentuk kegagalan Ditjen Pajak dalam
mengejar target penerimaan pajak, ada yang berpendapat transformasi ini
merupakan bentuk kemajuan yang harus dilaksanakan pemerintah agar Ditjen Pajak
dapat fokus melakukan tugasnya di bidang penerimaan negara. Resiko yang harus
dihadapi karena adanya transformasi ini sangatlah besar. Apalagi jika setelah
transformasi, Ditjen Pajak masih tidak dapat mengejar target yang ada atau
bahkan gagal melakukan tugasnya. Sudah pasti kepercayaan masyarakat akan
menghilang dan buruknya, Indonesia akan mengalami krisis, namun di sinilah
pemerintah dihadapkan dengan dua pilihan, mencoba meninggalkan sistem model
tradisional yang lama atau tetap menggunakan sistem lama. Ibarat bermain lotre,
nasib akan dipertaruhkan.
Pada prinsipnya, tidak serta merta ada satu model
yang terbaik. Setiap negara harus menentukan sendiri akan menggunakan sistem
model seperti apa sesuai dengan kondisi negaranya. Realitanya, Indonesia sudah
harus meninggalkan model sistem tradisional untuk lembaga penerimaan –dalam hal
ini Ditjen Pajak-. Hal itu dikarenakan Diten Pajak butuh administrasi
perpajakan yang efektif dan efisien, dan caranya adalah dengan memberikan
kewenangan yang luas bagi Ditjen Pajak untuk mengatur hal tersebut. Kewenangan
tersebut dapat berupa kebijakan kepegawaian, alokasi anggaran, dan struktur
organisasi. Saat otoritas pajak berpisah dari Kementerian Keuangan, maka
otomatis alokasi anggaran pun akan berbeda. Biasanya, Ditjen Pajak akan
mengajukan usul atas pagu RKAnya, dan apabila tidak disetujui Kemenkeu pagu
indikatif tersebut harus disesuaikan berdasarkan pagu anggaran yang telah
ditetapkan. Saat otoritasnya terpisah,
Ditjen Pajak akan mendapatkan alokasi anggaran tersendiri. Sama halnya di
negara Amerika Latin, misalnya. Anggaran otoritas Amerika latin telah
ditetapkan sebesar 2-3% dari realisasi penerimaan pajak yang dapat dicapai.
Negara yang menggunakan sistem semi otonom biasanya nilai anggaran harus
melalui persetujuan legislatif. Namun, seringkali terjadi negara memberikan
bonus atau insentif terhadap otoritas pajak tersebut apabila mencapai target,
seperti di Kenya.
Sederhananya, Indonesia harusnya sudah mampu
meninggalkan sistem model tradisional yang diberlakukan kepada otoritas pajak.
Namun, transformasi tersebut harus dipikirkan secara matang oleh pemerintah.
Sebab akan banyak resiko yang menanti. Keputusan pemerintah haruslah tepat agar
tidak terjadi salah langkah dan akan menimbulkan kerugian sendiri bagi negara. Sistem
SARA yang digunakan oleh negara-negara lain pun bukan menjadi jaminan dan
tujuan akhir bagi Indonesia untuk menerapkannya. Sebab perlu adanya komitmen
politik yang kuat dalam pelaksanaannya,
bukan sekadar transformasi saja tanpa harus memikirkannya. Intinya, pemerintah
harus mengkaji ulang mengenai pemisahan Ditjen Pajak dari Kementerian Keuangan,
pertanyaan-pertanyaan seperti bagaimana harusnya Ditjen Pajak bertransformasi,
apa resikonya, dan bagaimana cara menghadapi resiko yang ada harus dianalisa
oleh pemerintah. Sementara itu, kita sebagai masyarakat Indonesia harus juga
berperan aktif dalam hal ini. Setidaknya peran aktif kita ialah membayar pajak
–bagi yang telah memenuhi syarat subjektif dan objektif- serta mendukung penuh
kebijakan yang telah ditetapkan pemerintah.
Agustine Catur S
Sumber Referensi: